Pasal 24
Ayat (1)
Bukti kepemilikan itu pada dasarnya
terdiri dari bukti kepemilikan atas nama pemegang hak pada waktu berlakunya
UUPA dan apabila hak tersebut kemudian beralih, bukti peralihan hak
berturut-turut sampai ke tangan pemegang hak pada waktu dilakukan pembukuan hak.
Alat-alat
bukti tertulis yang dimaksudkan dapat berupa :
a. grosse akta hak eigendom yang diterbitkan berdasarkan
Overschrijvings Ordonnantie (S.1834-27), yang telah dibubuhi catatan, bahwa hak
eigendom yang bersangkutan dikonversi menjadi hak milik; atau
b. grosse akta hak eigendom yang diterbitkan berdasarkan
Overschrijvings Ordonnantie (S.1834-27) sejak berlakunya UUPA sampai tanggal
pendaftaran tanah dilaksanakan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961
di daerah yang bersangkutan; atau
c. surat tanda bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan
Swapraja yang bersangkutan; atau
d. sertipikat hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri
Agraria Nomor 9 Tahun 1959; atau
e. surat keputusan pemberian hak milik dari Pejabat yang ber-wenang,
baik sebelum ataupun sejak berlakunya UUPA, yang tidak disertai kewajiban untuk
mendaftarkan hak yang diberikan, tetapi telah dipenuhi semua kewajiban yang
disebut di dalamnya; atau
f. akta pemindahan hak yang dibuat di bawah tangan yang dibubuhi tanda
kesaksian oleh Kepala Adat/Kepala Desa/Kelurahan yang dibuat sebelum berlakunya
Peraturan Pemerintah ini; atau
g. akta pemindahan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT, yang tanahnya
belum dibukukan; atau
h. akta ikrar wakaf/surat ikrar wakaf yang dibuat sebelum atau sejak
mulai dilaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977; atau
i. risalah lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang yang berwenang, yang
tanahnya belum dibukukan; atau
j. surat penunjukan atau pembelian kaveling tanah pengganti tanah yang
diambil oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah; atau
k. petuk Pajak Bumi/Landrente, girik, pipil, kekitir dan Verponding
Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961; atau
l.
surat keterangan riwayat tanah
yang pernah dibuat oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan; atau
m. lain-lain bentuk alat pembuktian tertulis dengan nama apapun juga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal II, VI dan VII Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA.
Dlam hal bukti tertulis tersebut tidak lengkap atau
tidak ada lagi, pembuktian kepemilikan itu dapat dilakukan dengan keterangan
saksi atau pernyataan yang bersangkutan yang dapat dipercaya kebenaran-nya
menurut pendapat Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik
atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaf-taran tanah secara sporadik.
Yang dimaksud dengan saksi adalah orang cakap memberi
kesaksian dan mengetahui kepemilikan tersebut.
Ayat (2)
Ketentuan ini memberi jalan keluar
apabila pemegang hak tidak dapat menyediakan bukti kepemilikan sebagaimana
dimaksud ayat (1), baik yang berupa bukti tertulis maupun bentuk lain yang
dapat dipercaya. Dalam hal demikian pembukuan hak dapat dilakukan tidak
berdasarkan bukti kepemilikan akan tetapi berdasarkan bukti pengua-saan fisik
yang telah dilakukan oleh pemohon dan pendahulunya.
Pembukuan hak
menurut ayat ini harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a. bahwa penguasaan dan penggunaan tanah yang bersangkutan dilakukan
secara nyata dan dengan itikad baik selama 20 tahun atau lebih secara berturut-turut;
b. bahwa kenyataan penguasaan dan penggunaan tanah tersebut selama itu
tidak diganggu gugat dan karena itu dianggap diakui dan dibenarkan oleh
masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang
bersangkutan;
c. bahwa hal-hal tersebut diperkuat oleh kesaksian orang-orang yang
dapat dipercaya;
d. bahwa telah diberikan kesempatan kepada pihak lain untuk mengajukan
keberatan melalui pengumuman sebagaimana dimaksud Pasal 26;
e. bahwa telah diadakan penelitian juga mengenai kebenaran hal-hal yang
disebutkan di atas;
f. bahwa akhirnya kesimpulan mengenai status tanah dan pemegang haknya
dituangkan dalam keputusan berupa pengakuan hak yang bersangkutan oleh Panitia
Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik dan oleh Kepala Kantor
Pertanahan dalam pen- daftaran tanah secara sporadik.
Pasal 32
Ayat (1)
Sertipikat merupakan tanda bukti hak yang kuat, dalam
arti bahwa selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya data fisik dan data yuridis
yang tercantum di dalamnya harus diterima sebagai data yang benar. Sudah barang
tentu data fisik maupun data yuridis yang tercantum dalam sertipikat harus
sesuai dengan data yang tercantum dalam buku tanah dan surat ukur yang
bersangkutan, karena data itu diambil dari buku tanah dan surat ukur tersebut.
Ayat (2)
Pendaftaran tanah yang
penyelenggaraannya diperintahkan oleh UUPA tidak menggunakan system publikasi
positif, yang kebenaran data yang disajikan dijamin oleh Negara, melainkan
menggunakan sistem publikasi negatif. Di dalam sistem publikasi negatif Negara
tidak menjamin kebenaran data yang disajikan. Tetapi walaupun demikian tidaklah
dimaksudkan untuk menggunakan sistem publikasi negatif secara murni. Hal
tersebut tampak dari pernyataan dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA, bahwa
surat tanda bukti hak yang diterbitkan berlaku sebagai alat bukti yang kuat dan
dalam Pasal 23, 32, dan 38 UUPA bahwa pendaftaran berbagai peristiwa hukum
merupakan alat pembuktian yang kuat. Selain itu dari ketentuan-ketentuan
mengenai prosedur pengumpulan, pengolahan, penyimpan-an dan penyajian data
fisik dan data yuridis serta penerbitan sertipikat dalam Peraturan Pemerintah
ini, tampak jelas usaha untuk sejauh mungkin memperoleh dan penyajian data yang
benar, karena pendaf-taran tanah adalah untuk menjamin kepastian hukum.
Sehubungan dengan itu diadakanlah ketentuan dalam ayat (2) ini.
Ketentuan ini bertujuan, pada satu pihak untuk tetap
berpegang pada sistem publikasi negatif dan pada lain pihak untuk secara
seimbang memberikan kepastian hukum kepada pihak, yang dengan itikad baik
menguasai sebidang tanah dan didaftar sebagai pemegang hak dalam buku tanah,
dengan sertipikat sebagai tanda buktinya, yang menurut UUPA berlaku sebagai
alat pembuktian yang kuat.
Kelemahan sistem publikasi negatif
adalah bahwa pihak yang nama-nya tercantum sebagai pemegang hak dalam buku
tanah dan sertipikat selalu menghadapi kemungkinan gugatan dari pihak lain yang
merasa mempunyai tanah itu. Umumnya kelemahan tersebut diatasi dengan
menggunakan lembaga acquiitieve verjaring
atau adverse possession.
Hukum tanah kita yang memakai dasar
hukum adat tidak dapat menggunakan lembaga tersebut, karena hukum adat tidak
mengenal-nya. Tetapi dalam hukum adat terdapat lembaga
yang dapat diguna-kan untuk mengatasi kelemahan sistem
publikasi negatif dalam pen- daftaran tanah, yaitu lembaga rechtsverwerking. Dalam hukum adapt jika seseorang selama sekian
waktu membiarkan tanahnya tidak dikerjakan, kemudian tanah itu dikerjakan orang
lain, yang memper-olehnya dengan itikad baik, maka hilanglah haknya untuk
menuntut kembali tanah tersebut. Ketentuan di dalam UUPA yang menyatakan
hapusnya hak atas tanah karena diterlantarkan (Pasal 27, 34 dan 40 UUPA) adalah
sesuai dengan lembaga ini.
Dengan pengertian demikian, maka apa
yang ditentukan dalam ayat ini bukanlah menciptakan ketentuan hukum baru,
melainkan merupa-kan penerapan ketentuan hukum yang sudah ada dalam hukum adat,
yang dalam tata hukum sekarang ini merupakan bagian dari Hukum Tanah Nasional
Indonesia dan sekaligus memberikan wujud konkrit dalam penerapan ketentuan
dalam UUPA mengenai penelantaran tanah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar